PEMBENTUKAN POSKESTREN DENGAN MENGUNAKAN POLA PENDEKATAN DESA SIAGA DI PESANTREN
Kesehatan bagi sebagaian penduduk yang terbatas kemampuannya serta yang berpengetahuan dan berpendapatan rendah masih perlu diperjuangkan secara terus menerus dengan cara mendekatkan akses pelayanan kesehatan dan memberdayakan kemampuan mereka.
Inti kegiatan Poskestren adalah memberdayakan masyarakat pesantren baik santri/ti maupun guru agar mau dan mampu untuk hidup sehat. Konsep pemberdayaan masyarakat pesantren ini adalah memperkenalkan mereka akan permasalahan yang mereka hadapi yang dilakukan oleh mereka sendiri. Sehingga masalah yang ditemukan benar-benar dirasakan dan disepakati oleh mereka.
Diwilayah puskesmas pematang kandis terdapat 4 buah pondok pesantren, yang diharapkan menjadi penggerak pemberdayaan kesehatan pesantren. Menyimak kenyataan tersebut, diperlukan upaya membuat terobosan yang benar-benar memiliki daya ungkit bagi meningkatnya derajat kesehatan bagi seluruh masyarakat pesantren, salah satunya adalah pesantren al-munawarah.
Puskesmas pematang kandis sebagai pusat penggerak pemberdayaan kesehatan masyarakat diwilayah kerjanya, untuk tahap awal mencoba mengembangkan langkah-langkah pendekatan edukatif, yaitu upaya mendampingi (memfasilitasi) mereka untuk menjalani proses pembelajaran yang berupa proses pemecahan masalah-masalah kesehatan yang dihadapinya. Dengan mengadopsi kegiatan pengembangan desa siaga, yang diterapakan untuk mengembangkan poskestren di pesantren al-munawarah yang terletak di kelurahan dusun bangko, kecamatan bangko kab. Merangin.
PENGARUH SIKAP TENTANG KEBERSIHAN DIRI TERHADAP
TIMBULNYA SKABIES ( GUDIK ) PADA SANTRIWATI
DI PONDOK PESANTREN
Budaya bersih merupakan cerminan sikap dan perilaku masyarakat dalam
menjaga dan memelihara kebersihan pribadi dan lingkungan dalam kehidupan
sehari-hari. Pondok Pesantren sebagai salah satu tempat pendidikan di Indonesia
saat ini berjumlah kurang lebih 40.000. Penyakit menular berbasis lingkungan dan
perilaku seperti tuberkulosis paru, Iinfeksi saluran pernapasan atas, diare dan
penyakit kulit masih merupakan masalah kesehatan yang juga dapat ditemukan di
Pondok Pesantren (Depkes, 2000). Prevalensi penyakit skabies disebuah pondok
pesantren di jakarta mencapai 78,70% dikabupaten Pasuruan sebesar 66,70%
prevalensi penyakit skabies jauh lebih tinggi dibandingkan dengan prevalensi
penyakit skabies di negara berkembang yang hanya 6-27% atau prevalensi penyakit
skabies di Indonesia sebesar 4,60-12,95% saja (Kuspriyanto,2002). Untuk
meningkatkan derajat kesehatan santri perlu adanya upaya untuk meningkatkan
pengetahuan santri tentang kesehatan secara umum, khususnya tentang penyakit
menular sehingga diharapkan ada perubahan sikap serta diikuti dengan perubahan
prilaku kebersihan perorangan dengan hasil akhir menurunnya angka kesakitan
penyakit menular. Upaya peningkatan, pencegahan dan penanggulangan masalah
penyakit menular dapat ditempatkan sebagai ujung tombak paradigma sehat untuk
mencapai Indonesia sehat 2010 (Harryanto, 2004).
Kulit merupakan organ terluar penyusun tubuh manusia yang terletak paling
luar dan menutupi seluruh permukaan tubuh. Karena letaknya paling luar, maka
kulit yang pertama kali menerima rangsangan seperti rangsangan sentuhan, rasa
sakit, maupun pengaruh buruk dari luar. Kulit berfungsi untuk melindungi
permukaan tubuh, memelihara suhu tubuh dan mengeluarkan kotoran-kotoran
tertentu. Kulit juga penting bagi produksi vitamin D oleh tubuh yang berasal dari
sinar ultraviolet. Mengingat pentingnya kulit sebagai pelindung organ-organ tubuh
didalammnya, maka kulit perlu dijaga kesehatannya. Selain itu kulit juga
mempunyai nilai estetika (Wijayakusuma, 2004). Penyakit kulit dapat disebabkan
oleh jamur, virus, kuman, parasit hewani dan lain-lain. Salah satu penyakit kulit
yang disebabkan oleh parasit adalah Skabies ( Juanda, 2000).
Skabies dalam bahasa Indonesia sering disebut kudis. Orang jawa
menyebutnya gudig, sedangkan orang sunda menyebutnya budug. Gudik merupakan
penyakit menular akibat mikroorganisme parasit yaitu sarcoptes scabei varian
humoris, yang penularannya terjadi secara kontak langsung dan tidak langsung,
secara langsung misalnya bersentuhan dengan penderita atau tidak langsung
misalnya melalui handuk dan pakaian. Disamping itu skabies dapat berkembang
pada kebersihan perorangan yang jelek, lingkungan yang kurang bersih, demografi
status perilaku individu (Siregar, 2005). Penyakit ini banyak di jumpai pada anakanak
dan orang dewasa tetapi dapat mengenai semua umur walaupun akhir-akhir ini
juga sering didapatkan pada orang berusia lanjut, biasanya di lingkungan rumah
jompo. Insiden sama antara pria dan wanita, insidensi skabies di negara berkembang
menunjukkan siklus fluktuasi yang sampai saat ini belum dapat dijelaskan interval
antara akhir dari suatu epidemi dan permulaan epidemi berikutnya kurang lebih 10-
15 tahun (Harahap, 2000).
Status kesehatan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah sikap
seseorang dalam merespon suatu penyakit, skabies pada umumnya merupakan jenis
penyakit menular. Sikap santri sangat penting peranannya dalam pencegahan
skabies di lingkungan Asrama Pondok yang membutuhkan kebersihan perorangan
serta perilaku yang sehat. Sikap yang dimiliki oleh santri diharapkan dapat
berpengaruh terhadap perilaku mereka guna mencegah terjadinya skabies di
lingkungan Pondok tempat mereka tinggal. Tidur bersama, pakaian kotor yang
digantung atau ditumpuk di kamar merupakan salah satu contoh sikap yang dapat
menimbulkan skabies. Pengetahuan yang cukup baik mengenai kebersihan
perorangan tidaklah berarti bila tidak menghasilkan respon bathin dalam bentuk
sikap, sikap merupakan hal yang paling penting . Sikap dapat digunakan untuk
memprediksikan tingkah laku apa yang mungkin terjadi, dengan demikian sikap
dapat diartikan sebagai suatu predisposisi tingkah laku yang akan tampak aktual
apabila kesempatan untuk mengatakan terbuka luas (Azwar, 2000).
Pada sebuah komunitas, kelompok atau keluarga yang terkena skabies akan
menimbulkan beberapa hal yang dapat mempengaruhi kenyamanan aktifitas dalam
menjalani kehidupannya. Penderita selalu mengeluh gatal, terutama pada malam
hari, gatal yang terjadi terutama di bagian sela-sela jari tangan, di bawah ketiak,
pinggang, alat kelamin, sekeliling siku, areola (area sekeliling puting susu) dan
permukaan depan pergelangan. Sehingga akan timbul perasaan malu karena pada
usia remaja timbulnya skabies sangat mempengaruhi penampilannya juga tentang
penilaian masyarakat tentang Pondok Pesantren yang kurang terjaga kebersihannya.
Asrama atau Pondok Pesantren termasuk tempat yang beresiko terjadi skabies
karena merupakan salah satu tempat yang berpenghuni padat. "Tidak ada santri yang
tidak mungkin terkena penyakit skabies (gatal), kalau belum terkena skabies belum
syah menjadi santri dan jika sudah pernah tekena penyakit tersebut maka tidak akan
terkena lagi " merupakan salah satu fenomena tersendiri di kalangan santri.
"Kalau belum kena gatal di pesantren belum disebut santri". Begitu kata orang yang mengaku pernah sekian tahun mondok. Barangkali karena ia telah putus asa menghadapi kejorokan ustadz dan santri, atau ia sendiri bermasalah dalam hal ini, atau memang tidak tahu bahwa Islam agama yang menjunjung tinggi kebersihan karena lingkungannya membentuk imej demikian.
Terlalu naif jika santri gatal kemudian dikatakan "itu wajar". Bukankah Islam memerintahkan kebersihan? Dalam fiqih Syafi'i orang yang hendak melakukan shalat hendaklah ia memastikan bahwa badan, pakaian dan tempat harus bersih dari hadats dan najis, bahkan sebagian madzhab mewajibkan mandi jum'at agar jamaah yang lain tidak terganggu dengan aroma keringatnya. Dalam sunnah juga diterangkan untuk bersiwak setiap kali akan shalat, terutama orang yang baru makan makanan berbau tidak sedap.
Lagi-lagi kesalahan kita yang senantiasa membahas syariah sebatas buku/kitab saja tidak sampai pada kehidupan riil. Kelemahan yang harus disadari kemudian diperbaiki. Ustadz dan murid harus mampu menghadirkan asholah (keotentikan) syariah dalam kehidupan kontemporer, dengan istilah lain tahqiqul manath.
Asal kita memiliki keinginan untuk membenahi pesantren kita dari kejorokan dan kekumuhan, maka keadaan akan berubah. Pesantren akan kembali menjadi salah satu taman surga. Yang pasti harus ada kesamaan langkah dari komponen pesantren, mulai kyai, guru, santri bahkan para pegawai sekalipun.
Terlalu naif jika santri gatal kemudian dikatakan "itu wajar". Bukankah Islam memerintahkan kebersihan? Dalam fiqih Syafi'i orang yang hendak melakukan shalat hendaklah ia memastikan bahwa badan, pakaian dan tempat harus bersih dari hadats dan najis, bahkan sebagian madzhab mewajibkan mandi jum'at agar jamaah yang lain tidak terganggu dengan aroma keringatnya. Dalam sunnah juga diterangkan untuk bersiwak setiap kali akan shalat, terutama orang yang baru makan makanan berbau tidak sedap.
Lagi-lagi kesalahan kita yang senantiasa membahas syariah sebatas buku/kitab saja tidak sampai pada kehidupan riil. Kelemahan yang harus disadari kemudian diperbaiki. Ustadz dan murid harus mampu menghadirkan asholah (keotentikan) syariah dalam kehidupan kontemporer, dengan istilah lain tahqiqul manath.
Asal kita memiliki keinginan untuk membenahi pesantren kita dari kejorokan dan kekumuhan, maka keadaan akan berubah. Pesantren akan kembali menjadi salah satu taman surga. Yang pasti harus ada kesamaan langkah dari komponen pesantren, mulai kyai, guru, santri bahkan para pegawai sekalipun.
Penyakit yang sering mengenai pesantren adalah: Pertama scabies yaitu jenis penyakit kulit yang disebabkan oleh tungau bernama Sarcoptes scabei. Tungau ini berukuran sangat kecil dan tidak terlihat oleh mata telanjang. Kedua kutu yaitu suatu parasit jenis serangga yang tidak bersayap Ketiga panu yang merupakan penyakit jamur permukaan (superfisial) yang kronik.
Berikut cara menciptakan budaya kebersihan:
1. Menunjuk seseorang untuk menjadi penanggung jawab kebersihan pesantren.
2. Meletakkan segala sesuatu pada tempatnya, barang maupun aktifitas. Makan di kamar misalnya. Harus ada tindakan tegas dari penanggung jawab kebersihan.
3. Kontrol kebersihan pribadi santri seperti mandi, gosok gigi dll. Serta kontrol cara merawat pakaian mereka, mencuci, melipat atau cara menggantungkan pakaian.
4. Melakukan general cleaning secara berkala.
5. Segera perbaiki sanitasi atau WC yang rusak karena hal ini salah satu sumber penyakit.
Kalaupun penyakit itu sudah terlanjur terjangkit, maka jangan sampai kita putus asa. Segera lakukan beberapa langkah berikut:
1. Tidak saling tukar pakaian.
2. Melakukan gerakan bersih-bersih secara serentak.
3. Melakukan pengobatan serentak untuk mencegah terjadinya infeksi bolak-balik.
4. Baju-baju, seprei, mukena, semua harus direbus, dijemur di bawah sinar matahari dan disetrika.
5. Bila dimungkinkan pisahkan santri yang terkena gatal sampai taraf kesembuhan.
Mari kita ciptakan pesantren yang nyaman untuk kita dan generasi kita menimba ilmu menuju masa depan Islam yang gemilang, gemah ripah iman cemerlang...
1. Mohon kiranya di masing-masing kamar mandi dapat disediakan gayung (untuk menjaga kebersihan dan kesehatan pondok maupun santri agar tdk gatal2) karena walau bagaimanapun tidak mungkin santri atau wali santri harus membawa2 gayung. Cont mudahnya jika santri sedang berada di kelas atau bermain, jika kebelet pipis atau bab apakah mungkin harus mengambil gayung dahulu?
2. Mohon dapat diperhatikan kesehatan santri yang akan menimbulkan suatu penyakit, yang paling sering terjadi mag dan batuk. Contohnya anak saya sejak di pesantren hingga sekarang selalu sakit. Bagaimana dengan pelaran-pelajarannya?
3. Mohon hal-hal yang mungkin dianggap sepele seperti santri yg kehilangan barang atau uang agar dicari solusinya. Karena orang tua santri menitipkan anak-anaknya di Pondok Pesantren berharap besar untuk menjadi anak yang baik, berguna dan saleh/saleha.
4. Bagaimana dengan tempat sanggahan atau jemuran para santri?
More: Forums - Kebersihan dan Kesehatan | Pondok Pesantren Daar el-Qolam
Under Creative Commons License: Attribution Non-Commercial Share Alike
Budaya hidup sehat di pondok pesantren sering dipertanyakan. Budaya hidup sehat yang dimaksud berkaitan dengan pola konsumsi makanan, kebersihan lingkungan, perilaku hidup sehat seperti olahraga dan lainnya. Untuk memahami lebih lanjut maka perlu dilakukan penelitian di pondok pesantren Assalafiyah. Permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah: 1) Bagaimana pola makan santri sehari – hari dalam pondok pesantren Assalafiyah?, 2) Bagaimana santri dalam menjaga kesehatan dan kebersihan lingkungan sekitar?, 3) Bagaimana santri memaknai kesehatan dan kebersihan?, 4) Bagaimana perilaku sehat pada santri?. Sedangkan tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah: 1). Mengetahui pola makan santri sehari – hari dalam pondok pesantren, 2) Mengetahui santri dalam menjaga kesehatan dan kebersihan lingkungan sekitar, 3) Mengetahui santri memaknai kesehatan dan kebersihan, 4) Mengetahui perilaku sehat pada santri. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif. Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode wawancara, observasi, dokumentasi. Validitas data dengan menggunakan teknik triangulasi. Analisis data melalui reduksi data, display data atau penyajian data, dan pengambilan keputusan atau verifikasi.